Halal-Haram: Lain Iran Lain pula Indonesia
Halal-Haram: Lain Iran Lain pula Indonesia
Oleh Zaim Saidi, Sekretaris Eksekutif YLKI
Awal tahun baru 1995 ini ditandai dangan lahirnya fatwa baru pengharaman dua jenis minuman ringan yang populer di seluruh dunia, diproduksi di Amerika. Sebagaimana disebar luaskan oleh kantor berita Reuters. Fatwa itu dikeluarkan oleh pemimpin spiritual bangsa Iran, Ayatullah Ali Khamenei. Adakah minuman ringan ini mengandung ingredient haram di dalamnya?
Alasan sang Ayatullah mengharamkan dua jenis minuman Cola di atas, sebagaimana dikutip tajuk surat kabar setempat Keyhan, adalah mengkonsumsi barang impor (khususnya dua jenis minuman itu) berarti memperkuat kedudukan politik dan arogansi Amerika. Secara finansial tindakan itu, juga dianggap membantu lingkaran Zionis. "Setiap pembuatan yang memperkokoh arogansi politik dan lingkaran zionis di dunia adalah perbuatan haram," demikian di antara fatwa Khamenei.
Sejarah tampaknya berulang kali ke Iran. Lebih dari seratus tahun lalu peristiwa serupa pernah terjadi. Pembuat fatwa itu juga seorang Ayatullah yakni Mirza Shirazi, hanya saja kali itu sasarannya beda, yaitu tembakau. Bunyi fatwanya pendeknya saja: Bismillahirahmanirrahim, mengkonsumsi tembakau sama dengan melawan Imam Mahdi. Kontan orang-orang tidak mau beli tembakau. Toko-toko tembakau tutup dan berpak-pak rokok dilemparkan ke tong sampah.
Mengapa hal ini terjadi?
Kang Jalaluddin Rakhmat, yang menceritakan kisah yang terjadi tahun 1309 Hijrah tersebut menjelaskan latar belakang peristiwa itu. Nasiruddin Syah, penguasa negeri itu baru saja memberikan konsensi hak monopoli dan pembelian, penjualan dan pengolahan tembakau serta kebebasan cukai kepada perusahaan tembakau Inggris. Menurut para ulama konsensi itu merupakan imperialisme ekonomi. Tembakau sendiri, sama halnya mungkin juga minuman cola, bukan barang haram. Tembakau itu, atau juga minuman cola itu, menjadi haram karena pengkonsumsinya mendukung sistem yang opresif. Haramnya barang-barang ini, demikian Kang Jalal menerangkan, adalah muqayad, artinya bersyarat.
Di negeri kita, akhir-akhir ini, kepekaan terhadap halal-haramnya suatu produk terasa meningkat. Tuntutan untuk memperoleh jaminan perlidungan atasnya juga menigkat. Mekanisme yang diharapkan juga dapat menampung masalah ini adalah lewat sistem sertifikasi produk halal. Jadi ada perbedaan yang nyata antara yang terjadi di Iran dan di Indonesia. Di sana tampaknya masyarakat sangat peka terhadap halal tidaknya suatu, yang sifatnya muqayyad. Di Indonesia, sebaliknya, lebih peka dengan produk yang sifat halal-haramnya mutlak, tapi acuh tak acuh dengan yang muqayyad.
Mengapa terjadi perbedaan demikian itu tentu saja memerlukan penjelasan lain yang mungkin lebih panjang lagi. Dan, terlepas dari masalah ini, kebutuhan dan tuntutan akan jaminan atasnya untuk memeroleh produk yang halal sesuai tuntutan agama, adalah hak bagi setiap warga negara. Pertanyaannya adalah bagaimana hal ini bisa diperoleh?
Jawaban atas persoalan ini menjadi tidak sederhana lagi karena sistem ekonomi 'modern' yang kini kita jalani bersifat massal dan lewat pasar terbuka. Antara produsen dan komsumen terbentang jarak yang panjang. Kemampuan konsumen untuk mengontrol segala sesuatu yang dikonsumsinya makin mengecil. Bisa kita bayangkan, dalam sistem ekonomi yang lebih sederhana, produk yang kita butuhkan relatif dapat dikontrol. Mungkin karena diproduksi sendiri di rumah. Atau, bila pun diperoleh dari pasar, hubungan penjual dan pembeli masih dekat, mungkin saling kenal. Ambilah contoh produk korned beef dalam kaleng, bagaimana masyarakat tahu dagingnya halal, sedang kan proses produksi, lokasi pabrik, bumbu yang dipakai, teknik pembuatannya tidak diketahui? Ringkasnya ada posisi tidak seimbang antara konsumen dan produsen. Informasi hampir sepenuhnya dikuasai produser.
Karena keadaan seperti inilah maka diperlukan campur tangan pihak ketiga, yakni pemerintah. Kalaupun bentuknya bukan secara langsung, misalnya lewat suatu peraturan yang mengharuskan dipenuhinya persyaratan tertentu, atau perlarangan tindakan tertentu, setidaknya dibuat suatu mekanisme menyeimbangkan posisi timpang konsumen dan produsen. Dalam soal halal haramnya suatu produk cara yang dilakukan adalah keharusan mencantumkan semua ingredient pada label secara lengkap. Atau seperti yang berlaku sekarang keharusan memberikan informasi bila di dalam suatu produk terkandung bahan dari babi.
Para penganut sistem pasar bebas tentu keberatan dengan adanya campur tangan pemerintah. Mereka selalu menginginkan untuk membiarkan tumbuhnya kesadaran produsen untuk secara sukarela mengakui bila produsennya haram. Tapi disini soalnya: mungkinkah kesadaran seperti itu muncul dengan sendirinya? Dan bukankah hak konsumen untuk menuntut kejelasan informasi?
Sistem sertifikasi pada dasarnya adalah alat untuk mengontrol pasar. Dengan cara memberikan informasi itu maka jarak antara produsen dan konsumen kembali didekatkan.
Kemampuan masyarakat untuk ikut mengontrol produk yang akan dikonsumsinya menjadi meningkat. Produsen tetap berhak untuk memproduksi dan menjual produk apa saja halal ataukah haram. Tetapi sebaliknya, konsumen dengan informasi cukup yang dimilikinya berhak untuk memilih membeli atau tidak, produk itu. Prinsipnya memang sesederhana itu, meskipun kenyataannya sering jauh lebih sulit. Salah satu sebabnya adalah ketidak satu paduan kepentingan konsumen. Siapa membela kepentingan konsumen?
Secara etis dan politis peran pemimpin umat, dan ulama-ulama sebagaimana diperlihatkan dalam kasus tembakau dan cola di Iran (juga atas kasus lemak babi di Indonesia beberapa waktu lalu) sangat penting dan nyata bagi masyarakat dalam soal halal haram itu. Tapi itu saja terbukti tidaklah cukup. Masyarakat juga membutuhkan jaminan yang lebih teknis dan praktis.
Sistem sertifikasi halal, sebagaimana sertifikasi gizi (nutritional labelling) atau sertifikasi lingkungan (eco-labelling), menjadi sangat diperlukan. Siapa tahu kepekaan masyarakat kita lantas bakal meningkat pada hal-hal yang haramnya muqayyad, seperti halnya pada korupsi atau kolusi.
0 Response to "Halal-Haram: Lain Iran Lain pula Indonesia"
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.